a book review: Berfikir nggak pake Mikir (Blink by Malcolm Gladwell)*



ilustrasi snap judgment
Pernah nggak kamu heran ketika mendengar temanmu yang sneaker addict seperti Jeffry Jouw misalnya, yang dengan cepat mengucap “ah, itu sepatu kw!” padahal baru lihat sepatunya 2 detik? Atau pernah nggak kalian notice kenapa para juri ajang pencarian bakat dalam waktu 10-20 detik pertama sudah langsung bisa memberikan snap judgment atas keseluruhan skill bernyanyi bertahun-tahun yang dimiliki peserta? Buku Blink (The Power of Thinking Without Thinking) karya Malcolm Gladwell ini bisa jadi referensi melatih kepekaan dan ketajaman kita dalam mengambil keputusan seperti itu dengan cepat.

Bukunya gimana, toh?



Secara fisik, bukunya sangat lightweight dengan ukuran panjang 17 cm dan lebar 10,5 cm atau kira-kira bisa lah digenggam dengan utuh oleh tangan mungil seorang perempuan Indonesia pada umumnya. Dengan ketebalan hanya 287 halaman, buku ini bisa banget masuk ke dalam sling bag untuk dibaca sambil nunggu pacarmu dandan sambil foto-foto di cermin toilet Grand Indonesia, atau ketika nunggu boarding pesawat saat lagi bertugas jadi pengabdi GFF Miles lewat APBN *eh eh cemana?
Oke, yang jelas buku ini begitu mudah dibawa ke mana-mana hingga nggak ada alasan untuk nggak baca buku! *otoriter reviewer hehe*


Gak mau baca ah kalau penulisnya gak kredibel.

Well, I’m giving you brief background.  
Buku ini ditulis oleh Malcolm Gladwell, seorang jurnalis berkebangsaan Canada yang berkarir sejak tahun 1996 di majalah The New Yorker. Gladwell sendiri sudah menulis 5 buku New York Times bestsellers sejak tahun 2000, di antaranya The Tipping Point, Blink, Outliers, David and Goliath, dan What the Dog Saw. Kalau dilihat dari genre-nya, buku-buku Gladwell kebanyakan merupakan buku non-fiksi (termasuk buku Blink ini). Sementara dari sudut pandang subjeknya, Gladwell banyak menulis tentang psikologi, sosiologi, maupun pop culture. Beberapa di antaranya lebih suka saya sebut sebagai buku dengan kategori self help, yaitu sebuah genre buku yang bisa menjadi referensi ketika tidak ada yang bisa menolong diri sendiri selain diri itu sendiri. *aw such a poor writer tho

Oke, isinya gimana? Is it classy or edgy?

Both! Blink terdiri atas 6 BAB plus prolog dan epilog. Setiap bab banyak menyajikan kita fakta menarik, hasil penelitian, observasi, dan contoh konkrit bagaimana dalam waktu dua detik pertama, seseorang bisa memberikan intuitive repulsion – sebuah intuisi yang merasakan bahwa ini tuh salah, loh! atau sebaliknya. Ya, seperti case sepatu kw tadi.

Beberapa contoh konkrit yang menurut saya menarik untuk dikutip dari tulisan Gladwell seperti:
1.        Kenali seorang calon pegawai dari kamarnya.
·         Gladwell berusaha untuk memberikan kita sedikit kuliah praktik, salah satunya dengan mengandaikan pembaca sebagai seorang manajer HRD. Saat mau merekrut seseorang, manajer HRD tentu saja akan membaca CV dan resume pelamar, membaca barisan pengalaman kerja, pengalaman organisasi, serta prestasi yang sudah dikurasi sedemikian rupa untuk setidaknya menjawab 3 pertanyaan: apakah dia jujur? apakah dia pekerja keras? dan apakah dia terbuka dengan gagasan baru?
·         Untuk menemukan jawaban itu, kita diberi kebebasan oleh bos kita yang quite demanding untuk mengenal pelamar melalui dua cara: ajak makan dan ngobrol santai seminggu dua kali selama 1 bulan sampai akhirnya si pelamar menjadi your closest friend dan kita jadi tau karakteristiknya bagaimana, atau ambil waktu 90 menit saja untuk room tour kamarnya si pelamar saat dia sedang tidak ada dan mendadak. Cara pertama disebut Samuel Gosling (seorang psychologist yang dikutip oleh Gladwell) sebagai thick slicing, sedangkan cara kedua disebut thin slicing.
·         Untuk menjawab pertanyaan pertama (apakah dia jujur), memang harus melakukan thick slicing. Namun untuk sisa 2 pertanyaan lainnya tentu saja bisa diperoleh snap judgment melalui teknik thin slicing. Saat memasuki kamar seseorang, apabila terlihat setidaknya ada 3 barang ‘unik’ yang berbeda, seperti ukulele, buku, serta seperangkat alat lukis, dapat merepresentasikan si pemilik kamar merupakan individu yang terbuka terhadap hal baru, imaginative, independent, dan conforming (dapat menyesuaikan diri). Selanjutnya, jika kita melihat satu rak berisi CD lawas yang alphabetical order, atau baju yang tersusun rapi, maka dapat pula disimpulkan bahwa individu tersebut merupakan pribadi yang well-organized dan self-discipline.

2.        The Love Lab
·        Yak, nggak salah baca kok. Itu laboratorium cinta. Sounds cringy, eh?
·         Jadi Gladwell memaparkan dengan menarik pengalaman John Gottman – seorang peneliti dan psychologist juga – yang bisa memprediksi lama atau tidaknya usia pernikahan seseorang pada 15 tahun mendatang, hanya melalui rekaman video 1 jam percakapan pasutri, dan tentu saja dengan akurasi hingga 95%!
·        Love Lab ini seperti melakukan komputasi dan memberikan notasi atas ekspresi dari pasutri saat mereka berbicara, apakah ada defensif, netral, sabar, senang, whining, dan sebagainya. Bahkan untuk laboratorium cinta ini, Gottman telah menulis buku setebal 500 halaman yang berjudul the Mathematics of Divorce. Gokil kan? Cara yang dilakukan Gottman ini juga termasuk teknik thin slicing.

Gladwell menyebutnya dengan the power of knowing, di mana intuisi ini bisa dipelajari dan dikembangkan. Menurutnya, snap judgments dan rapid cognition merupakan pengetahuan yang berada “di balik pintu”. Seseorang bisa mengambil keputusan dengan cepat dan memiliki tingkat akurasi yang tinggi apabila sudah terbiasa dan mendalami informasi tersebut.


Namun sayangnya, beberapa orang cenderung kurang bisa memercayai intuisi. Kalau pernah menonton film All the Money in the World, di sana ada tokoh seorang kakek tua bernama Gettty, kakek tajir melintir yang gemar mengoleksi patung berbahan pualam berusia ratusan bahkan ribuan tahun. Karena kisah Getty based on true story, Gladwell mengutip pengalaman Getty yang hampir saja tertipu untuk membeli patung palsu. Saat itu, Getty lebih percaya pengacaranya dan ilmuwan saat meneliti calon patung yang akan dia beli, daripada  memercayai intuisi seorang pakar sejarah dan seorang expert di bidang sculpture. Tidak mengherankan memang, mengingat para lawyer dan ilmuwan dapat menyediakan setumpuk dokumen sebagai penguat justifikasi serta kesimpulannya.

Terhadap kisah tersebut, Gladwell menyebutkan:

That approach is a mistake. If we are to learn to improve the quality of the decisions we make, we need to accept the mysterious nature of our snap judgments. We need to respect the fact that is possible to know without knowing why we know and accept that – some times – we’re better off that way.”

Wow, that’s cool. I never thought intuition could be explained scientifically. Are we done?

Almost.  Untuk yang sudah ketemu jodohnya, mungkin suka heran ketika ditanya kok milih dia? Tentu saja karena ada intuisi yang kuat untuk mengatakan he/she’s the one . Artinya secara tidak langsung, kita juga sering sekali mengambil keputusan penting dalam hidup yang sifatnya snap judgment. Ini merupakan human nature yang keren banget!

Blink bukan hanya menghadirkan landasan ilmiah, tapi juga readable karena bahasanya yang mudah dipahami serta dapat dikatakan sebagai buku yang enlightening read. Terakhir, dapat saya rekomendasikan buku ini bagi semua orang yang mungkin sering cenderung menggunakan intuisi untuk mengambil keputusan, atau bagi mereka yang mau mendalami sistem berfikir otomatisnya.

Penulis:
Analis Polhukam, Kementerian PANRB
Divisi Sembari Dinas Abdi Muda Indonesia

*Artikel ini juga di-publish di laman Abdi Muda Indonesia
***

Komentar