ilustrasi snap judgment |
Bukunya gimana, toh?
Secara fisik,
bukunya sangat lightweight dengan ukuran
panjang 17 cm dan lebar 10,5 cm atau kira-kira bisa lah digenggam dengan utuh oleh tangan mungil seorang perempuan
Indonesia pada umumnya. Dengan ketebalan hanya 287 halaman, buku ini bisa
banget masuk ke dalam sling bag untuk
dibaca sambil nunggu pacarmu dandan sambil foto-foto di cermin toilet Grand
Indonesia, atau ketika nunggu boarding pesawat
saat lagi bertugas jadi pengabdi GFF Miles lewat APBN *eh eh cemana?
Oke, yang jelas buku
ini begitu mudah dibawa ke mana-mana hingga nggak ada alasan untuk nggak baca
buku! *otoriter reviewer hehe*
Gak mau
baca ah kalau penulisnya gak kredibel.
Well, I’m
giving you brief background.
Buku ini ditulis
oleh Malcolm Gladwell, seorang jurnalis berkebangsaan Canada yang berkarir
sejak tahun 1996 di majalah The New Yorker. Gladwell sendiri sudah menulis 5
buku New York Times bestsellers sejak tahun 2000, di antaranya The Tipping
Point, Blink, Outliers, David and Goliath, dan What the Dog Saw. Kalau dilihat
dari genre-nya, buku-buku Gladwell
kebanyakan merupakan buku non-fiksi (termasuk buku Blink ini). Sementara dari
sudut pandang subjeknya, Gladwell banyak menulis tentang psikologi, sosiologi,
maupun pop culture. Beberapa di
antaranya lebih suka saya sebut sebagai buku dengan kategori self help, yaitu sebuah genre buku yang bisa
menjadi referensi ketika tidak ada yang
bisa menolong diri sendiri selain diri itu sendiri. *aw such a poor writer
tho
Oke, isinya gimana? Is it classy
or edgy?
Both! Blink terdiri atas 6 BAB plus
prolog dan epilog. Setiap bab banyak menyajikan kita fakta menarik, hasil
penelitian, observasi, dan contoh konkrit bagaimana dalam waktu dua detik pertama,
seseorang bisa memberikan intuitive
repulsion – sebuah intuisi yang merasakan bahwa ini tuh salah, loh! atau sebaliknya. Ya, seperti case sepatu kw tadi.
Beberapa contoh konkrit
yang menurut saya menarik untuk dikutip dari tulisan Gladwell seperti:
1.
Kenali seorang calon pegawai dari kamarnya.
·
Gladwell berusaha untuk memberikan kita sedikit kuliah
praktik, salah satunya dengan mengandaikan pembaca sebagai seorang manajer HRD.
Saat mau merekrut seseorang, manajer HRD tentu saja akan membaca CV dan resume
pelamar, membaca barisan pengalaman kerja, pengalaman organisasi, serta
prestasi yang sudah dikurasi sedemikian rupa untuk setidaknya menjawab 3
pertanyaan: apakah dia jujur? apakah dia
pekerja keras? dan apakah dia terbuka
dengan gagasan baru?
·
Untuk menemukan jawaban itu, kita diberi
kebebasan oleh bos kita yang quite
demanding untuk mengenal pelamar melalui dua cara: ajak makan dan ngobrol
santai seminggu dua kali selama 1 bulan sampai akhirnya si pelamar menjadi your closest friend dan kita jadi tau
karakteristiknya bagaimana, atau
ambil waktu 90 menit saja untuk room tour
kamarnya si pelamar saat dia sedang tidak ada dan mendadak. Cara pertama
disebut Samuel Gosling (seorang psychologist
yang dikutip oleh Gladwell) sebagai thick
slicing, sedangkan cara kedua disebut thin
slicing.
·
Untuk menjawab pertanyaan pertama (apakah dia jujur), memang harus
melakukan thick slicing. Namun untuk
sisa 2 pertanyaan lainnya tentu saja bisa diperoleh snap judgment melalui teknik thin
slicing. Saat memasuki kamar seseorang, apabila terlihat setidaknya ada 3
barang ‘unik’ yang berbeda, seperti ukulele, buku, serta seperangkat alat lukis,
dapat merepresentasikan si pemilik kamar merupakan individu yang terbuka
terhadap hal baru, imaginative, independent,
dan conforming (dapat
menyesuaikan diri). Selanjutnya, jika kita melihat satu rak berisi CD lawas
yang alphabetical order, atau baju
yang tersusun rapi, maka dapat pula disimpulkan bahwa individu tersebut
merupakan pribadi yang well-organized dan
self-discipline.
2.
The Love
Lab
·
Yak, nggak salah baca kok. Itu laboratorium
cinta. Sounds cringy, eh?
·
Jadi Gladwell memaparkan dengan menarik
pengalaman John Gottman – seorang peneliti dan psychologist juga – yang bisa memprediksi lama atau tidaknya usia
pernikahan seseorang pada 15 tahun mendatang, hanya melalui rekaman video 1 jam
percakapan pasutri, dan tentu saja dengan akurasi hingga 95%!
·
Love Lab ini seperti melakukan komputasi dan
memberikan notasi atas ekspresi dari pasutri saat mereka berbicara, apakah ada defensif,
netral, sabar, senang, whining, dan
sebagainya. Bahkan untuk laboratorium cinta ini, Gottman telah menulis buku
setebal 500 halaman yang berjudul the
Mathematics of Divorce. Gokil kan? Cara yang dilakukan Gottman ini juga
termasuk teknik thin slicing.
Gladwell
menyebutnya dengan the power of knowing, di
mana intuisi ini bisa dipelajari dan dikembangkan. Menurutnya, snap judgments dan rapid cognition merupakan pengetahuan yang berada “di balik pintu”.
Seseorang bisa mengambil keputusan dengan cepat dan memiliki tingkat akurasi
yang tinggi apabila sudah terbiasa dan mendalami informasi tersebut.
Namun sayangnya,
beberapa orang cenderung kurang bisa memercayai intuisi. Kalau pernah menonton
film All the Money in the World, di
sana ada tokoh seorang kakek tua bernama Gettty, kakek tajir melintir yang
gemar mengoleksi patung berbahan pualam berusia ratusan bahkan ribuan tahun. Karena
kisah Getty based on true story, Gladwell
mengutip pengalaman Getty yang hampir saja tertipu untuk membeli patung palsu. Saat
itu, Getty lebih percaya pengacaranya dan ilmuwan saat meneliti calon patung yang
akan dia beli, daripada memercayai intuisi
seorang pakar sejarah dan seorang expert di
bidang sculpture. Tidak mengherankan
memang, mengingat para lawyer dan
ilmuwan dapat menyediakan setumpuk dokumen sebagai penguat justifikasi serta kesimpulannya.
Terhadap kisah
tersebut, Gladwell menyebutkan:
“That approach is a mistake. If we
are to learn to improve the quality of the decisions we make, we need to accept
the mysterious nature of our snap judgments. We need to respect the fact that
is possible to know without knowing why we know and accept that – some times –
we’re better off that way.”
Wow, that’s cool. I never thought
intuition could be explained scientifically. Are we done?
Almost. Untuk yang sudah ketemu jodohnya, mungkin suka
heran ketika ditanya kok milih dia? Tentu
saja karena ada intuisi yang kuat untuk mengatakan he/she’s the one . Artinya secara tidak langsung, kita juga sering
sekali mengambil keputusan penting dalam hidup yang sifatnya snap judgment. Ini merupakan human nature yang keren banget!
Blink bukan
hanya menghadirkan landasan ilmiah, tapi juga readable karena bahasanya yang mudah dipahami serta dapat dikatakan
sebagai buku yang enlightening read. Terakhir,
dapat saya rekomendasikan buku ini bagi semua orang yang mungkin sering
cenderung menggunakan intuisi untuk mengambil keputusan, atau bagi mereka yang mau
mendalami sistem berfikir otomatisnya.
Penulis:
Analis Polhukam,
Kementerian PANRB
Divisi Sembari
Dinas Abdi Muda Indonesia
*Artikel ini juga di-publish di laman Abdi Muda Indonesia
***
Komentar
Posting Komentar