Siapa yang menyangka baru
3 (tiga) bulan pertama di tahun 2020, dunia modern menghadapi sebuah bencana
pandemi Covid-19 yang melumpuhkan sebagian besar aktivitas perekonomian global?
Bahkan hari ini, major economic
disruption jelas memperlemah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek
Indonesia (BEI) seiring dengan meningkatnya kurva eksponensial jumlah orang
yang terinfeksi Covid-19, bertambahnya angka mortalitas warga dunia akibat
Covid-19, serta anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. OECD
(2020) bahkan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama 2020 akan
bergerak negatif, dengan pertumbuhan pendapatan domestik bruto (PDB) global diprediksi
turun hingga 2,4% di akhir tahun 2020 dari yang sebelumnya memang sudah lemah
2,9% di tahun 2019.
Bagi Indonesia sendiri, major
economic disruption sebagai dampak pandemi tentu akan mempengaruhi
perubahan peruntukkan komposisi anggaran belanja pemerintah (government expenditure). APBN tahun 2020
yang berkisar Rp 2.233 Triliun pun akan dirombak besar-besaran guna mengalihkan
belanja pemerintah menjadi belanja penanggulangan bencana virus Covid-19 yang
semakin kritis di tanah air.
Sebagai langkah hukum
strategis, tertanggal 20 Maret lalu, Presiden telah mengeluarkan Instruksi
Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2020 yang pada intinya memastikan seluruh
instansi pemerintah mengutamakan alokasi anggaran yang ada untuk mempercepat
penanganan Covid-19 sesuai protokol penanganan.
Lebih lanjut lagi, dalam
rapat terbatas arahan Presiden kepada seluruh Gubernur dalam Penanganan
Covid-19 tanggal 24 Maret 2020, poin penting yang diaksentuasi oleh Presiden
adalah kebijakan insentif ekonomi untuk tetap menstimulus aktivitas
perekonomian nasional. Arahan Presiden tersebut adalah sebagai berikut:
- Relaksasi Kredit : Kebijakan relaksasi kredit kendaraan penunjang aktivitas ekonomi selama 1 (satu) tahun bagi masyarakat pekerja kerah biru yang terdampak Covid-19, seperti tukang ojek, supir taksi, serta nelayan,
- Bantuan Sosial: Himbauan tegas untuk melakukan social distancing perlu disertai dengan kebijakan bantuan sosial (social safety net) terhadap masyarakat yang terdampak. Pemerintah perlu menghitung berapa jumlah pedagang asongan, tukang becak, hingga supir yang tidak dapat bekerja sebagai dampak himbauan social distancing. Perhitungan tersebut perlu dikalkulasi agar porsi bantuan sosial melalui APBD dapat tepat guna dan tepat sasaran.
- Penambahan Manfaat Kartu Sembako dan Kartu Pekerja: Alokasi anggaran sebesar Rp 4,5 Triliun bagi penerima kartu sembako untuk 6 (enam) bulan (atau setara dengan penambahan Rp 50ribu rupiah sehingga jumlah yang diterima bagi pemegang Kartu Sembako menjadi Rp 200rib), serta Rp 10 Triliun bagi pemegang Kartu Prakerja sebagai antisipasi bagi para pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), maupun pengusaha mikro yang kehilangan omset.
Sebagaimana
Indonesia, negara lain seperti Australia juga telah lebih dulu memberikan
insentif serupa. Scott Morrison, Perdana Menteri Australia menyampaikan
bahwa pemerintahnya memberikan tambahan $550 per 2 (dua) minggu kepada para
pengangguran, industri mikro, serta subsidi untuk menekan angka PHK.
Pertanyaannya sekarang adalah,
seberapa penting insentif dari kebijakan social
distancing tersebut? Apakah berbagai kebijakan stimulus ekonomi ini mampu memperbaiki
gangguan cash flow (arus kas)
masyarakat pekerja kerah biru serta industri mikro?
Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat yang tergolong
pekerja kerah biru adalah kelompok yang paling rentan terdampak dari bencana
Covid-19. Masyarakat yang bekerja tidak di balik meja dan mengandalkan hidupnya
pada sektor pertanian, manufaktur, konstruksi, pertambangan, kesehatan, hingga
jasa transportasi daring ini, mau tidak mau harus menghadapi tidak sebandingnya
jumlah cash out flow (pengeluaran)
rumah tangganya dengan jumlah cash in
flow (pendapatan). Kebijakan social
distancing yang diserukan ke seluruh penjuru negeri menyebabkan banyak toko
yang sepi pengunjung, kegiatan manufaktur dan konstruksi yang terpaksa
dihentikan, kondisi kesehatan yang beresiko, hingga sepinya penumpang harian
dari jasa transportasi daring. Belum lagi potensi PHK besar-besaran yang bisa
saja terjadi apabila pemerintah belum bisa membangun dialog dan instrumen
khusus ketenagakerjaan antara serikat buruh dan pengusaha.
Secara
yuridis, konstitusi Indonesia telah menjamin bahwa negara dalam kondisi memaksa
atau darurat (force majeure),
memiliki kewenangan untuk memperbaiki dalam berbagai bidang guna menjamin
kesejahteraan umum. Dalam
hal ini, arah kebijakan Presiden sebagaimana disebutkan di atas, mengarah pada
insentif yang sifatnya meringankan dampak
yang diderita masyarakat akibat bencana virus Covid-19. Melalui kebijakan
tersebut, diharapkan akan terdapat peningkatan pendapatan yang secara paralel juga
akan meningkatkan perekonomian sektor riil (barang dan jasa). Dalam jangka pendek, kelompok
masyarakat pekerja kerah biru tentu akan terbantu apabila berbagai mekanisme
kompensasi sebagaimana arahan Presiden dapat didistribusikan secara merata,
berkeadilan, serta diawasi pelaksanaannya secara ketat.
Namun
dalam jangka panjang, stimulus yang diberikan pemerintah tersebut dapat
dikatakan tidak tepat sasaran. World Bank dalam World Development Report (WDR) (2013)
menyatakan bahwa paket stimulus akibat bencana akan efektif jika ditujukan
mulai dari upaya pemulihan akibat
dari dampak bencana tersebut hingga
kesiapan mitigasi kebencanaan. WDR melaporkan bahwa, alokasi anggaran
tanggap bencana di kebanyakan negara rawan bencana seperti Indonesia, Filipina,
India, China, dan Banglades sangat cenderung ke arah yang sifatnya responsif
dan rekonstruktif (lebih dari 95%), dan kurang dari 5% untuk pengurangan resiko
bencana (disaster risk reduction / DRR)
maupun kesiapan mitigasi kebencanaan.
Menjadi
tidak mengherankan jika minimnya prioritas penganggaran DRR disebabkan karena
ihwal lain yang dianggap lebih prioritas, seperti isu kemiskinan dan
kesejahteraan rakyat, disparitas sosial, pembangunan, pertumbuhan ekonomi,
hingga konflik etnisitas. Bahkan IRDR (2014) menyatakan bahwa pembangunan
ekonomi dan pencegahan bencana di negara berkembang sering dianggap sebagai
tujuan yang saling bertentangan (conflicting
goals).
Padahal, dengan minimnya
alokasi anggaran DRR tentu akan berdampak pada besarnya anggaran yang harus dikeluarkan
oleh pemerintah dalam melakukan pemulihan dan rekonstruksi akibat suatu
bencana. Secara teoritis, kondisi ini dikenal dengan teori eksternalitas dalam konteks ekonomi publik. Rosen (1988)
mengungkapkan bahwa eksternalitas terjadi ketika aktivitas suatu satu kesatuan
mempengaruhi kesejahteraan kesatuan yang lain yang terjadi di luar mekanisme
pasar (non market mechanism). Bahkan,
dengan mempertimbangkan teori eksternalitas, penyelenggara kebutuhan publik
(atau dalam hal ini pemerintah) dapat juga ikut serta dalam upaya efisiensi
ekonomi.
Dalam konteks DRR pandemi
virus Covid-19, negara seharusnya mulai berfikir untuk melakukan riset ilmiah
yang serius dan mendalam terkait potensi terjadinya mutasi virus, penguatan
kapasitas dan kuantitas dari tenaga medis, penambahan kualitas dan kuantitas
alat-alat kesehatan, serta upaya edukasi hingga diseminasi informasi yang berkaitan
dengan pencegahan virus dan gaya hidup sehat. Negara juga perlu untuk
memperkuat sinergi dan koordinasi, serta menjamin bahwa seluruh hierarki
pemerintahan yang ada, mulai dari RT, RW, lurah, camat, Bupati/Walikota,
Gubernur, hingga para Menteri ikut serta mengoptimalisasi upaya DRR, baik
dengan menggunakan sosialisasi yang sifatnya preemtif dan preventif, hingga
langkah lain yang sifatnya sistemik, seperti ketersediaan mata anggaran pada
kegiatan yang sesuai.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa pertimbangan stimulus ekonomi baik jangka
pendek (insentif ekonomi) maupun jangka panjang (DRR) adalah satu kesatuan
paket kebijakan yang sama-sama penting dan perlu diaksentuasi oleh pemerintah
dalam mereduksi dampak kebencanaan. Bencana non alam berupa pandemi virus Covid-19
memang merupakan kejadian luar biasa yang patut menjadi pelajaran berharga bagi
republik ini dalam menjaga rakyatnya.
Sumber:
IRDR
& UNISDR. 2014. Incentives for
Disaster Risk Management. AIRDR Project Report No. 2
OECD Interim
Economic Assessment. 2020. Coronavirus:
The World Economy at Risk.
Rosen, H.S, 1988. Public Finance, second edition.
Washington: Toppan Co.Ltd.
World Bank. 2013. Incentives in Disaster Risk Management and
Humanitarian Response. World Development Report
Penulis:
Analis
Polhukam, Kementerian PANRB
Divisi
Sembari Dinas Abdi Muda Indonesia
*Artikel juga dipublish di website komunitas Abdi Muda
Komentar
Posting Komentar