an analytical view: Sexism Undercover: Gaung Emansipasi Kartini dan Perangai Bias Gender dalam Berkarir*
Suatu hari, seorang calon pegawai
kantoran sedang melaksanakan proses interview kerja oleh kepala bagian HRD.
Interviewer
|
: Kamu ini
perempuan, berprestasi, umurmu 24 tahun. Ada rencana menikah usia berapa?
|
Interviewee
|
: Belum tau,
Bu. Saya akan menjalani karir dan kehidupan pribadi saya dulu dengan
sebaik-baiknya, namun sambil memastikan semua kewajiban saya terpenuhi,
terskema, dan terjadwal baik.
|
Interviewer
|
: Wah, bagus.
Sebagai perempuan, jika disuruh memilih, kamu lebih memilih keluarga atau
pekerjaan?
|
Interviewee
|
: Hmm…
mengapa saya harus memilih salah satu ketika saya bisa melakukan
keduanya, Bu? |
Interviewer
|
: Maksudnya
bagaimana?
|
Interviewee
|
: Secara
ilmiah, di bagian otak tengah setiap perempuan terdapat corpus callosum yang lebih tebal dari laki-laki, Bu. Kondisi ini
menyebabkan perempuan – seperti Ibu – cenderung dapat melakukan lebih banyak
pekerjaan, atau dapat dikatakan lebih mampu untuk multi-tasking jika dibandingkan dengan laki-laki. Jadi saya yakin
apabila saya sudah berumah tanga, saya akan bisa menyeimbangkan keduanya.
Apabila saya memilih untuk lebih mementingkan keluarga, maka secara tidak
langsung ibu akan merekrut seseorang yang berpotensi kurang bertanggung-jawab
terhadap pekerjaan yang diamanatkan. Sebaliknya, apabila saya memilih
pekerjaan di atas keluarga, maka secara tidak langsung saya berpotensi untuk
menjadi seorang ibu maupun istri yang kurang baik untuk keluarga saya ke
depan. Saya percaya setiap perempuan
dapat menjalani urusan keluarga dan pekerjaan dengan seimbang, Bu. Tergantung
dari bagaimana lingkungan sekitar mendukungnya atau tidak.
|
***
Sebanyak 7 dari 10 orang perempuan yang
saya wawancarai sebelum menulis artikel ini, menyampaikan bahwa pertanyaan
wawancara kerja yang berkaitan dengan rencana menikah dan opsi memilih keluarga
atau pekerjaan, adalah pertanyaan yang paling sering dipertanyakan oleh
pewawancara kerja hingga saat ini di Indonesia. Secara implisit, dapat
dikatakan bahwa pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang mengarah pada
peran, tanggung jawab, serta relasi sosial dengan pelabelan menurut jenis
kelamin (stereotip gender). Padahal sejak
tahun 2013, pertanyaan tersebut bahkan sudah tidak lagi masuk ke dalam the 50 most common interview questions versi
majalah Forbes.
Adapun jawaban yang disampaikan oleh interviewee dalam ilustrasi di atas
merupakan jawaban yang – walaupun saya tidak yakin pernah disampaikan oleh
seseorang atau tidak – selain bisa menjadi inspirasi jawaban interview Anda, juga merupakan pengantar
yang menurut saya cukup holistik dalam membahas emansipasi wanita dan isu
seksisme di lingkungan pekerjaan, baik dari sudut pandang ilmiah secara singkat
(dalam hal ini neurologi) maupun secara sosiologis. Namun, dalam artikel ini
saya berupaya untuk mengelaborasi isu seksisme di lingkungan kerja tidak hanya
dari 2 (dua) sudut pandang di atas, tetapi juga dari aspek institusional dan
teoritis.
Glorifikasi Perempuan
dalam Selebrasi maupun Institusi
Sebagaimana kita ketahui bahwa perempuan
selalu memiliki hari perayaannya yang digaungkan di seluruh penjuru negeri. Dunia
internasional memiliki International
Woman’s Day yang dirayakan setiap tanggal 8 Maret untuk memeringati hari demonstrasi para buruh
perempuan di New York tahun 1908, yang pada saat itu menuntut hak mereka untuk
berpendapat dan berpolitik. Di dalam negeri, Indonesia punya Hari Kartini yang
diperingati setiap tanggal 21 April. Hari Kartini menyorot perjuangan R.A. Kartini,
seorang wanita terpandang anak Bupati Jepara yang walaupun dengan kedudukan priyayi-nya namun tetap memerjuangkan
kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki di masa itu melalui
surat-suratnya. Selaras dengan tanah air, India juga mempunyai Hari Perempuan
Nasional setiap tanggal 13 Februari untuk memeringati hari kelahiran Sarojini
Naidu, seorang gubernur wanita pertama di India, penyair, aktivis perempuan,
dan sosok inspiratif atas perjuangan hak-hak perempuan di tanah dharma cakra tersebut.
Gambar 1: Seorang laki-laki yang ikut menyuarakan aspirasi saat long march dari Hotel Sari Pasific, Sarinah hingga Taman Aspirasi dalam acara Women's March Jakarta 2019 (Sumber: Ultimagz, 2019)tion |
Gambar 2: Seorang perempuan India
yang ikut berpartisipasi dalam Internatioan Women’s Day tahun 2018
(Sumber: BBC)
|
Gambar 3: Long March pada
International Woman’s Day tahun 1933
(Sumber: Wikimedia Common)
|
Tidak hanya bentuk perayaan untuk menyuarakan kesetaraan hak dan
kedudukan perempuan, hari ini sebagian besar negara di dunia bahkan sudah
melembagakan urusan perempuan yang juga dijamin oleh konstitusi. Indonesia
misalnya, telah menjamin urusan pemberdayaan perempuan dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara untuk “diurus” oleh sebuah
kementerian yang saat ini bernama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (PPPA). India memiliki Ministry of Women and Child
Development, Amerika Serikat memiliki the Ministry of Women’s Affaris Restructuring
and Empowerement (MORE), dan Korea Selatan bahkan secara eksplisit menyebut isu
gender equality ke dalam nomenklatur kementeriannya,
yaitu Ministry of Gender Equality and Family (MOGEF).
Pertanyaannya
sekarang adalah, apakah segala bentuk upaya baik gerakan maupun eksistensi
kelembagaan resmi yang dibiayai oleh pajak rakyat telah berhasil menggugurkan
satu per satu isu seksisme yang berada di tengah-tengah masyarakat, terutama di
lingkungan kerja?
Perangai Seksisme dalam
Lingkungan Kerja
Seksisme oleh Unicef (2014)
didefinisikan sebagai prasangka atau diskriminasi berdasarkan jenis kelamin seseorang.
Artinya, mengidentifikasi perilaku yang seksis bukan berarti menyudutkan satu
jenis kelamin tertentu dan menguntungkan jenis kelamin lainnya. Berbeda dengan
konteks feminisme, proporsi dalam menjelaskan isu seksisme tentu saja tidak
hanya menitikberatkan keadilan berbasis gender pada kelompok yang sering
dianggap marjinal yaitu kelompok perempuan, tetapi juga terhadap kelompok
laki-laki. Namun karena hingga saat ini perilaku kekerasan seksual baik verbal
maupun fisik masih banyak diderita oleh perempuan, serta budaya patriarki yang
masih berurat akar di banyak sendi kehidupan sosial dunia, maka persoalan
seksisme menjadi isu yang heavy-nya
cenderung kepada kelompok perempuan.
Gambar 4. Stigma “boys will be boys” merupakan
salah satu contoh bentuk stereotip gender
terhadap laki-laki. (Sumber: Unicef, 2014) |
Gambar 5. Iklan pisau cukur merk Gilette yang sempat menuai kontroversi karena dipandang mencerminkan
perilaku seksis terhadap laki-laki (Sumber: Google)
|
Sejalan
dengan konstruksi seksisme yang sedang dibahas dalam artikel ini, saya akan
menggunakan social role theory oleh
Eagly dan Wood (2016) sebagai instrumen dalam mengelaborasi isu seksime di
lingkungan kerja. Social role theory
merupakan teori psikologi sosial yang berkaitan dengan distribusi peran sosial
perempuan dan laki-laki di dalam lingkungan bermasyarakat. Dalam konteks
seksisme di lingkungan kerja, Eagly dan Wood menyebutkan terdapat 3
karakteristik kecenderungan pembagian peran antara perempuan dan laki-laki,
yaitu: 1) Women tend to take on more domestic
tasks; 2) Women and men often have different occupational roles; dan 3)
In occupations, women often have lower status.
Untuk menemukan
relevansi pembagian peran sosial berdasarkan teori tersebut secara lebih
kontekstual, saya mencoba untuk melakukan riset sederhana melalui instrumen
kuisioner dengan sejumlah pertanyaan yang mengangkat isu seksisme di dunia
kerja yang merepresentasikan 3 karakteristik tersebut. Pertanyaan-pertanyaan
dalam kuisioner juga diambil secara acak terhadap isu seksisme di lingkungan
kerja yang paling sering ditemukan di media sosial maupun laman harian digital.
Setiap pertanyaan disajikan dengan pilihan jawaban yang menggunakan Skala
Likert, yaitu jawaban dengan 5 pilihan skala. Mesikpun demikian, saya menyadari
bahwa riset sederhana ini masih perlu didalami dan didiskusikan kembali dari
aspek metode penelitian ilmiah untuk pengembangan kajian selanjutnya.
Secara garis besar, responden yang saya
peroleh berjumlah 30 orang, dengan proporsi 72% perempuan dan 28% laki-laki,
dengan dominasi usia rata-rata 20 hingga 30 tahun. Mayoritas responden
merupakan mereka yang bekerja di institusi pemerintah (90%), disusul dengan
pekerja swasta (6,7%), dan pegawai BUMN (3,3%).
Karakteristik #1: Women tend to take on more domestic tasks
Untuk
menemukan relevansi karakteristik pertama, saya mengajukan pernyataan dan
pertanyaan kepada responden sebagai berikut:
a.
Pernyataan 1: Urusan domestik rumah tangga (mengasuh anak, mencuci, memasak, dan
membersihkan rumah) adalah urusan yang bisa dikerjakan secara bersama-sama baik
oleh laki-laki maupun perempuan.
·
Sebanyak 56% responden sangat setuju
dengan pernyataan tersebut. Namun di sisi lain, terdapat 44% responden yang
seluruhnya perempuan menjawab opsi bisa
saja, tapi dominan perempuan.
·
Kondisi ini secara implisit menyatakan
bahwa pola asuh (nurturing) yang ditanamkan
sejak kecil bagi perempuan untuk melaksanakan pekerjaan domestik pada
prinsipnya sudah tertanam dengan baik dalam diri perempuan.
b.
Pertanyaan 2: Apakah kamu percaya bahwa kerja sama yang baik antara suami dan istri
dalam hal urusan domestik rumah tangga, akan berdampak pada meningkatnya
kinerja suami maupun istri di lingkungan kerjanya?
·
Untuk
pertanyaan ini, sebanyak 57% responden memilih sangat percaya, 37% memilih percaya,
sedangkan hanya 6% responden yang menjawab biasa saja.
·
Terhadap
kondisi ini, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden sudah memahami
bahwa pembagian peran yang setara antara suami dan istri di dalam rumah tangga
akan meminimalisir konflik (work-family
conflict), yang selanjutnya akan bermuara pada meningkatnya kinerja kedua
belah pihak di lingkungan kerjanya.
·
Hal
tersebut didukung oleh sebuah riset oleh Brittany Solomon dan Joshua Jackson
dari Washington Unveristy dalam May (2015), yang mengungkapkan bahwa
kepribadian seseorang maupun kepribadian pasangannya untuk saling bekerja sama
dalam urusan domestik adalah dua hal yang saling mempengaruhi dalam kesuksesan
berkarir. Salomon dan Jakson menyebutkan:
“…that people with a
conscientious spouse may outsource more of the household chores or errands to
their partners, thus allowing them to devote more time and energy to work.
Less laundry, fewer errands, and reduced responsibility around the house
can translate into better pay, greater advancement, and increased job
satisfaction.”
Dengan demikian, berdasarkan hasil
survey terhadap karakteristik pertama, dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden menyetujui bahwa urusan pekerjaan domestik bukan lagi urusan yang hanya dapat
dilakukan oleh perempuan. Pembagian peran dan kerja sama dalam menuntaskan
pekerjaan domestik rumah tangga antara suami dan istri, yang kelak akan
membantu meningkatkan kinerja masing-masing individu di lingkungan
pekerjaannya.
Karakteristik #2: Women and men often have different occupational roles
Untuk
menemukan relevansi karakteristik ke dua, saya mengajukan pertanyaan kepada
responden sebagai berikut:
a.
Pertanyaan 1: Seberapa
sering kamu mendapatkan pekerjaan dengan tingkat kesulitan rendah sampai
biasa-biasa saja namun membutuhkan ketelitian (pekerjaan administratif), dan
melihat rekan kerjamu (seseorang dengan jenis kelamin berlawanan) mendapatkan
pekerjaan dengan tingkat kesulitan sedang sampai sulit (pekerjaan substantif
yang menggunakan daya fikir analitis)?
·
Sebanyak 61% perempuan sepakat bahwa seorang perempuan sering
mendapatkan pekerjaan yang membutuhkan ketelitian seperti pekerjaan
administratif, jika dibandingkan dengan laki-laki.
·
Terhadap porsi kecenderungan pembagian peran ini, seorang
responden menyampaikan hal berikut:
“Yang paling
menyebalkan adalah ketika atasan banyak memberikan perkerjaan administratif
kepada pegawai perempuan dan laki-laki mendapat kesempatan pekerjaan
substantif/analitis dan menantang. Seringkali atasan mengucapkan laki-laki memang
kurang cocok untuk pekerjaan administratif, padahal jabatan saya dan laki-laki
itu sama, harusnya kewajiban dan hak kami pun sama. Sejujurnya pekerjaan
administratif yang butuh detail juga pekerjaan yang "sangat" tidak
saya sukai dari dulu, hanya saja saya tau bahwa dalam bekerja kita tidak bisa
"hanya" mengerjakan hal yang kita sukai, tapi yang sudah jadi
kewajiban kita memang harus dikerjakan meskipun tidak kita sukai, kalau tidak
lantas siapa yang mengerjakan? Selain itu, pekerjaan administratif terlihat
sepele padahal menghabiskan banyak waktu, energi, dan kesabaran. Anehnya
beberapa orang bahkan teman perempuan punya mindset seperti itu "cowok
ngga bisa kerja administrasi", kebiasaan ini sangat tidak sehat bagi
pengembangan karir pegawai. Di satu sisi perempuan habis energi dan waktunya
untuk administratif dan tidak "nampak" kinerjanya.”
·
Lebih lanjut lagi, salah seorang responden menyampaikan bahwa
perilaku seksis tidak hanya terjadi dari laki-laki kepada perempuan ataupun
sebaliknya, melainkan sering kali dilakukan oleh sesama gender.
“…seperti contohnya, si
A (cewek) punya Bos (cewek). Justru si Bos seringkali lebih memperhatikan
pendapat dari bawahannya yang laki-laki. Pekerjaan yang lebih "besar dan
penting" diberikan ke laki-laki, sedangkan bawahannya yang perempuan
diberi pekerjaan yang rutin dan administratif.”
·
Namun, salah seorang responden menyampaikan hal yang berbeda.
Di kantornya, laki-laki justru cenderung diminta untuk melakukan pekerjaan
fisik yang cenderung disepelekan, seperti mengangkat galon air minum. Kondisi
ini disebabkan karena distribusi jumlah pegawai laki-laki jauh lebih sedikit
jika dibandingkan perempuan, sehinggaa kedudukan perempuan jarang dipandang
sebelah mata. Ada yang dirugikan? Tentu saja.
b.
Pertanyaan 2: Seberapa sering kamu mendengar atau diminta
untuk menegosiasikan sesuatu kepada lawan jenis oleh seseorang dengan gender
yang sama dengan target negosiasi? (contoh: Rudi (laki-laki) meminta kepada
Ainun (perempuan) untuk bertanya kepada Ahmad (laki-laki) terkait informasi
data pegawai di kantor. Hal ini dikarenakan menurut Rudi, kalau perempuan yang
minta pasti Ahmad mau.)
·
Untuk pertanyaan ini, sebanyak 57% responden yang terdiri
atas 59% perempuan dan 41% laki-laki menjawab cukup sering, sisanya menjawab jarang,
dan hanya 1 orang yang menjawab tidak pernah.
·
Hal ini mengidikasikan bahwa ketika melakukan negosiasi,
keterlibatan faktor gender dalam menyukseskan tujuan negosiasi di lingkungan
kerja cukup menjadi faktor penentu. Penelitian lebih komprehensif terkait hal
ini pernah dibahas oleh Harvard Law School (2020) dalam daily blog-nya yang berjudul Negotiation,
Gender, and Status at the Bargaining Table. Dalam artikel tersebut,
disebutkan bahwa when it
comes to different characteristics in negotiations, a growing body of research
suggests that status
consciousness varies depending
on the gender of interested parties.
c.
Pertanyaan 3: terkait
pemakluman yang diberikan oleh lingkungan sekitar ketika laki-laki atau
perempuan telat dan malas masuk kerja.
Adapun pertanyaan yang
diajukan yaitu: 1) Seberapa sering kamu
mendengar pemakluman terhadap laki-laki yang telat dan malas masuk kerja dengan
argumen umum seperti “ya namanya juga laki-laki” atau “boys will be boys”? dan
2) Seberapa sering kamu mendengar gerutu
terhadap perempuan yang telat dan malas masuk kerja dengan argumen umum seperti
“Perempuan kok malas”, atau “perempuan masa telat masuk kerja? Harusnya dia
bisa bangun lebih pagi”?
·
Terhadap pertanyaan tersebut,
sebanyak 43% responden mengaku jarang
mendengar, 23% responden sering mendengar,
dan 16% responden tidak pernah mendengar
argumen pemakluman terhadap laki-laki ketika mereka telat atau malas masuk
kerja.
·
Sedangkan hasil yang berbeda
ditunjukkan oleh responden ketika menjawab pertanyaan ke-2 yaitu sikap gerutu
dengan ungkapan “perempuan kok malas” yang
disampaikan jika perempuan telat atau malas masuk kerja. Dari hasil yang diperoleh,
sebanyak total 70% responden menjawab cukup sering mendengar, dan hanya 30%
responden yang menjawab jarang mendengar.
·
Salah seorang responden bahkan
menyampaikan hal berikut:
“…Seringkali justru
perilaku seksis muncul dari sesama gender, akibat proyeksi pribadi yang
ditujukan untuk orang lain dengan gender yang sama. Misal, si Bos (cewek)
adalah pribadi yang sangat disiplin, sehingga dia juga berharap bawahannya yang
perempuan juga demikian. Sebaliknya, justru si Bos memaklumi kekurangan yg
dimiliki oleh bawahan laki-laki.”
·
Kondisi ini mengindikasikan
bahwa terdapat perbedaan pandangan masyarakat terhadap peran laki-laki dan perempuan
di lingkungan kerja. Notasi peran “perempuan
itu harus rajin” sepertinya masih menjadi stereotip gender yang didapat dari cara belajar, budaya, maupun
tradisi yang dianut secara turun temurun hingga menjadi hal yang dilegitimasi oleh masyarakat (culturally assigned behavior). Padahal,
baik perempuan maupun laki-laki, adalah normal apabila dirundung rasa malas
bekerja karena berbagai faktor tertentu, atau disibukkan dengan kegiatan lain
sehingga membuat mereka datang terlambat masuk ke kantor. Sifat rajin pun
seyogyanya bukan sebuah kata sifat yang melekat bagi satu gender tertentu.
Oleh
sebab itu, berdasarkan hasil survey terhadap karakteristik kedua, dapat
disimpulkan bahwa kedudukan perempuan di lingkungan kerja mendapatkan porsi
yang cukup membingungkan. Mereka tak
jarang mendapatkan pekerjaan yang kurang substantif namun membutuhkan
ketelitian, melelahkan, bahkan cenderung kurang dianggap, serta secara
bersamaan didorong untuk memiliki sifat rajin. Konstruksi ini dapat dikatakan
bersumber dari budaya yang secara turun temurun dilegitimasi oleh masyarakat,
bahwa wanita adalah wani ditoto (dalam
Bahasa Jawa yang artinya berani ditata) untuk menjadi individu yang sabar,
teliti, dan rajin.
Namun
dalam hal negosiasi, peran perempuan dan laki-laki sama pentingnya. Potensi bargaining keduanya memiliki kedudukan
yang setara dan cukup dipertimbangkan apabila ingin melakukan negosiasi,
terutama dengan pihak dari gender yang berseberangan.
Karakteristik #3: In occupations, women often have lower status.
Untuk
menemukan relevansi karakteristik ke tiga, saya mengajukan pertanyaan kepada
responden sebagai berikut:
a.
Pertanyaan 1: Seberapa sering kamu menemukan ada seorang perempuan
dan/atau laki-laki yang secara akademis mumpuni (lulusan universitas bergengsi
baik dalam maupun luar negeri), namun tidak/kurang dipandang dan dianggap oleh
rekan kerja lainnya terutama dalam pengambilan keputusan?
·
Terhadap
pertanyaan tersebut, diperoleh jawaban sebanyak 47% responden cukup sering menemukan kondisi perempuan
yang cakap akademiknya namun kurang diberikan atensi dalam proses pengambilan
keputusan. Kondisi ini berbanding terbalik dengan perolehan hanya sebesar 20%
responden yang menjawab cukup sering apabila
kondisi tersebut terjadi pada laki-laki.
·
Padahal,
keseimbangan porsi dalam pengambilan keputusan bagi laki-laki dan perempuan sebenarnya
dapat diidentifikasi secara ilmiah. Mara Mether, seorang neurologis dari
University of Southern California dan Ruud van den Bos, neurologis dari
University of the Netherlands mengungkapkan bahwa ketika seorang pria sedang
berada di bawah tekanan, kecenderungan mereka untuk mengambil resiko (risk hunger) sangat tinggi. Pria akan
menjadi fokus kepada reward apa yang
akan diperoleh ketika berhasil membuat keputusan seiring dengan meningkatnya
level stress yang ditandai dengan meningkatnya detak jantung dan hormon
cartisolnya. Mether dan van den Bos mengungkapkan when the pressure is on
and there’s the glimmer of a highly rewarding outcome, men take gambles, more
and bigger gambles than they would ordinarily choose (Forbes, 2016).
·
Hal
yang berbeda terjadi pada perempuan dalam mengambil keputusan ketika level
stress-nya sedang tinggi. Mather dan van den Bos menemukan bahwa ketika tubuh perempuan
sedang mengalami reaksi stres yang kuat, mereka mengambil lebih banyak waktu
untuk menimbang berbagai kemungkinan dan lebih tertarik pada reward yang lebih kecil namun bisa
diandalkan. Ketika stress, perempuan cenderung menjadi risk alert dengan lebih waspada terhadap risiko yang akan terjadi.
·
Artinya,
kesetaraan porsi dan kesempatan dalam proses pengambilan keputusan antara
perempuan dan laki-laki perlu dibangun secara proporsional dan professional,
terlebih lagi jika kedua gender ini sama-sama memiliki kapasitas yang baik
dalam hal capaian akademis, maupun prestasi lainnya. Sebagai tambahan, Mather
dan van den Bos bahkan menutup pernyataannya dengan kesimpulan:
“…this provides a new
reason to have both men and women at the top level when high-stakes decisions
are being made. We need both genders
in the room to balance one another
out when tensions are running high.”
b.
Pertanyaan 2: “Seberapa
sering kamu mendengar ungkapan “perempuan dan/atau laki-laki ketika sudah
berumah tangga pasti akan memiliki keterbatasan atau penurunan kinerja dalam
berkarir”?
·
Melalui
pertanyaan tersebut, saya berasumsi bahwa apabila seorang perempuan ataupun
laki-laki telah menikah dan menurun kinerjanya, maka dampaknya adalah mereka
akan kurang mendapatkan “perhatian” dari lingkungan kerjanya, baik dalam bentuk
penugasan penting, penugasan luar kota, penugasan luar negeri, hingga kesempatan
promosi.
·
Terhadap
pertanyaan ini, total sebanyak 80% responden menjawab sangat sering, sering,
dan cukup sering mendengar pernyataan potensi menurunnya kinerja seorang
perempuan ketika berumah tangga. Sebaliknya, sebanyak 63% responden menjawab jarang mendengar dan 20% menjawab tidak pernah mendengar pernyataan bahwa
laki-laki akan menurun kinerjanya setelah berumah tangga.
·
Kondisi
tersebut didukung oleh sebuah riset yang dilakukan oleh Mehay dan Bowman (2005)
yang menyatakan bahwa jika dibandingkan dengan pria lajang, pria yang sudah
menikah menerima penilaian kinerja yang lebih baik dan jauh lebih signifikan,
bahkan cenderung lebih memungkinkan untuk dipromosikan.
·
Bahkan,
sebuah riset terhadap 30 pegawai di 8 casino
hotel di Macau terkait kuliatas work-family
balance (WFB) menunjukkan bahwa pegawai perempuan mau tidak mau secara
kontinu menghadapi kesulitan dalam mewujudkan WFB. Sebaliknya, pegawai
laki-laki cenderung mampu untuk mewujudkan WFB karena memiliki kecenderungan
emosional untuk berani menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan urusan karir
dan rumah tangga, sekaligus bisa bertanggung jawab atas tantangan tersebut.
Terhadap hasil survey terhadap
karakteristik ketiga, dapat disimpulkan bahwa isu diskriminasi berbasis gender
cukup sering dialami perempuan dalam
proses pengambilan keputusan penting di lingkungan kerja, sekalipun mereka
memiliki tingkat dan kualitas pendidikan yang baik. Bahkan potensi diskriminasi
ini akan semakin meningkat apabila seorang perempuan telah berumah tangga.
Kinerjanya sering dianggap berpotensi menurun dan akan berdampak pada berkurangnya
berbagai kesempatan yang bisa diperoleh seorang perempuan atas prestasinya.
Quo
Vadis Kesetaraan Gender
Melihat
hasil survey sederhana di atas, dapat disimpulkan bahwa isu seksis di
lingkungan kerja sampai saat ini masih banyak terjadi di kalangan perempuan.
Hasil riset dari ILO dalam Woman at Work (2016), menyebutkan bahwa di Asia,
Afrika Utara, UEA, dan Amerika Latin jumlah keterserapan perempuan dalam dunia
kerja hanya sebesar 46%, sedangkan laki-laki bisa mencapai 72%. Kurang
terserapnya tenaga kerja perempuan kebanyakan disebabkan karena kurangnya
tingkat pendidikan, skill, serta
motivasi yang didukung dengan budaya patriarki yang masih melekat.
Dalam
konteks pelaksanaan pemberdayaan perempuan di Indonesia, sejak tahun 2014
pemerintah telah mengeluarkan ketentuan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2014
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial.
Secara ringkas, ruang lingkup Perpres tersebut mencakup upaya pencegahan dan
penanganan tindak kekerasan baik perempuan maupun anak, dan pemberian layanan
kebutuhan dasar dan spesifik dalam rangka penanganan konflik. Selain itu juga
diatur perihal upaya penguatan hak asasi, peningkatan kualitas hidup, serta
partisipasi perempuan dan anak dalam membangun perdamaian. Melalui Perpres ini,
Presiden mengamanatkan upaya perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak
kepada seluruh lapisan institusi pemerintahan baik kementerian, lembaga, hingga
pemerintah daerah. Namun yang perlu digaris bawahi adalah, berbagai upaya
perlindungan dan pemberdayaan yang dimaksud, hanya ditujukan dalam kondisi spesifik yaitu apabila terjadi konflik
sosial sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan
Konflik Sosial.
Lebih lanjut lagi, Kementerian PPPA saat ini
memiliki program/kegiatan unggulan pemberdayaan perempuan yang dikenal sebagai 5 isu prioritas Kementerian PPPA. Program
tersebut menggunakan strategi pengarusutamaan gender dan pengarusutamaan hak
anak yang diinisiasi sejak tahun 2016 dan dilanjutkan hingga saat ini. Secara
singkat, program tersebut terdiri dari: 1) peningkatan pemberdayaan
perempuan dalam kewirausahaan; 2) peningkatan peran ibu dalam pendidikan anak;
3) penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak; 4) penurunan pekerja anak;
dan 5) pencegahan perkawinan anak. Saya berpandangan bahwa agenda tersebut
sudah cukup baik karena apabila tersukseskan, maka dampaknya dapat dirasakan
secara makro. Namun di sisi lain, secara implisit tergambarkan pula bahwa upaya
pemberdayaan dan perlindungan perempuan masih dilakukan di atas permukaan, dan
belum secara optimal menjadi bagian yang dengan terang benderang “diselamatkan
oleh negara”.
Sekali
lagi, isu diskrimnasi berbasis stereotip gender belum diaksentuasi secara
eksplisit oleh institusi yang berwenang. Emansipasi adalah semangat kesetaraan
dan keadilan yang diglorifikasi, nampaknya belum seutuhnya mampu
menginternalisasi sikap kita semua untuk secara sadar saling membuka kesempatan
yang seluas-luasnya baik bagi laki-laki maupun perempuan, untuk sama-sama
membangun lingkungan kerja yang sehat dan konstruktif.
Secara
tradisional, baru isu kekerasan dalam rumah tangga saja-lah yang menjadi
parameter tangible perwujudan
kekerasan berbasis gender, sedangkan isu seksisme yang cenderung bersifat intangible masih belum mendapat
perhatian lebih. Padahal, apabila perilaku seksis secara masif dilakukan, isu
yang sifatnya intangible tersebut
dapat menjadi hulu dari seluruh perilaku kekerasan fisik berbasis gender yang
menjadi hilirnya. Terlebih lagi, perilaku seksis jelas akan memengaruhi
psikologis seseorang, memengaruhi kinerja, rasa percaya diri, konflik rumah
tangga, tumbuh kembang anak dalam rumah, hingga perekonomian bangsa.
Dengan demikian, saya berpandangan bahwa isu seksisme adalah
isu kultural yang harus dibenahi secara komprehensif, bukan hanya melalui jalur
kultural, tetapi juga secara struktural melalui formulasi dan impelementasi
kebijakan yang berbasis isu, implementatif, dan tepat sasaran. Sedangkan pembenahan
secara kultural yakni melalui upaya meningkatkan pemahaman dan mengampanyekan berbagai
contoh perangai seksis di lingkungan kerja, dampak psikologis yang ditimbulkan
dari perilaku seksis, sambil juga membudayakan upaya peningkatan awareness tersebut.
Mengapa pembenahan kultural dan struktural atas isu seksisme
harus dimulai dari lingkungan kerja? Saya berpendapat bahwa seseorang yang
“berhasil terserap” dalam ekosistem pekerja, adalah mereka yang teseleksi
secara sistematis, memiliki tingkat pendidikan minimal sederajat, memiliki
kehidupan sosial yang terbuka, otonom, berswadaya, dan bersedia mengikatkan
diri pada tatanan legal maupun seperangkat norma yang diakui bersama. Para
pekerja ini merupakan manifestasi atas masyarakat madani, sehingga dinilai
mampu membawa perubahan di lingkungan sekitarnya.
Seksisme kehadirannya
seperti angin, tidak terlihat namun dapat dirasakan. Apabila angin tersebut
berhembus begitu kencang dan cepat, dampaknya jelas bisa merusak tatanan yang
sudah terbangun. Satu hal yang perlu kita sepakati bersama adalah, lelah
menjaga dan memercantik tatanan yang sudah terbangun pada prinsipnya jauh lebih
murah dan menyenangkan daripada membangun kembali suatu tatanan.
Selamat hari Kartini!
Referensi:
- Eagly, A. H., & Wood, W. (2016). Social Role Theory of Sex Differences. In N. Naples, R. C. Hoogland, M. Wickramasinghe, & W. C. A. Wong (Eds.), The Wiley Blackwell Encyclopedia of Gender and Sexuality Studies
- Forbes. 2016. How Decision-Making Is Different Between Men And Women And Why It Matters In Business
- Forbes. 2013. How To Ace The 50 Most Common Interview Questions
- Harvard Law School, (2020), Negotiation, Gender, and Status at the Bargaining Table.
- ILO, 2016, Woman at Work
- May, Cindi. 2015. For Couples, Success at Work is Affected by Partner’s Personality: Researcher Identify the Personality Traits that Plays a Positive Role, dalam scientificamerican.com
- Mehay, Stephen L. and Bowman R. William. 2005. Marital Status and Productivity: Evidence from Personnel Data. Southern Economic Journal, Vol. 72, No. 1 (Jul., 2005), pp. 63-77
- Suk Ha, Yun Kit Ip, et.al. 2018. Do Single and Married Females Have the Same Standard of Work–Family Balance? Case Study of Frontline Employees in Macau. Journal of Toursim and Hospitality.
- Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial.
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
- Unicef (2014)
- UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial
*Artikel ini juga di-publish di website Abdi Muda Indonesia dalam rangka memeringati Hari Kartini, 21 April 2020.
Ditulis oleh:
Analis Polhukam, Kementerian PANRB
Divisi Sembari Dinas Abdi Muda Indonesia
===Agens128 bagi uang Tunai===
Pakai Pulsa Tanpa Potongan
Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia
Game Populer:
=>>Sabung Ayam S1288, SV388
=>>Sportsbook,
=>>Casino Online,
=>>Togel Online,
=>>Bola Tangkas
=>>Slots Games, Tembak Ikan
Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
|| Online Membantu 24 Jam
|| 100% Bebas dari BOT
|| Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA
WhastApp : 0852-2255-5128
Agens128Agens128